BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah menjadikan manusia saling membutuhkan satu
sama lain, supaya mereka tolong menolong, tukar menukar, keperluan dalam segala
urusan, baik dengan jalan jual beli, sewa menyewa, bercocok tanam baik untuk
kebutuhan sendiri yang menjadikan diri
teratur
0leh sebab itu, agama member peraturan yang
sebaik-baiknya, karena dengan teraturnya muamalat, maka penghidupan manusia
terjamin dengan baik, sehingga dendam – dendam tidak ada.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian jual beli, pinjam meminjam, dan barang temuan menurut Islam ?
2. Apa hukum dari jual beli, pinjam meminjam dan barang temuan ?
3. Apa saja syarat-syarat dan rukun dalam jual beli, pinjam meminjam dan barang temuan ?
4. Bagaimana jual beli khusus, etika jual beli dan transaksi jual beli ?
5. Apa hikmah yang dapat kita ambil dari jual beli, pinjam meminjam dan barang temuan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
JUAL BELI
1.
Pengertian Jual Beli
Jual beli secara etimologi membandingkan sesuatu dengan sesuatu, apakah
keduanya berupa uang atau bukan. Allah swt berfirman :
ان الله اشترى من المؤ منين انفسهم واموالهم بان
لهم الجنه
Sungguh alloh membeli dari orang-orang mukmin
diri dan harta mereka dengan memberikan surga kepada mereka. (Q.S.At-Taubah 9:111).
Adapun menurut terminologi ahli fikih, jual-beli adalah perjanjian yang
didasarkan atas penukaran harta dengan harta sebagai kepemilikan selamanya.
Definisi tersebut menunjukkan bahwa jual-beli mengharuskan terjadinya
pertukaran berbagai macam harta dengan perjanjian kepemilikan. Dengan demikian,
baik bar’i maupun syira tidak akan terjadi kecuali dengan benda yang secara hukum disebut harta.
Selain itu dalam jual-beli mengharuskan adanya hak kepemilikan dan orang yang memiliki tidak ada
batasan oleh waktu. Adapun firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 29 :
لاتأكلوااموالكم بينكم با لباطل الا ان تكون تجارة ان
تكون تجارة ان تراض منكم…
“…Janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu….” [1]
2.
Hukum jual beli
Jual beli adalah menukar suatu barang
dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad).
لاتأكلوااموالكم بينكم با لباطل الا ان تكون تجارة ان
تكون تجارة ان تراض منكم…
“….janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu….. “ (QS. An Nisa’29)[2]
3. Rukun Jual Beli
a. Penjual dan Pembeli
1) Berakal, agar dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual
belinya.
2) Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa).
3) Tidak mubazir (pemboros)
4) Baligh (berumur 15 tahun ke atas/dewasa)[3]
b. Uang dan Benda yang di beli
1) Suci. Barang najis tidak sah dijual
dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau
bangkai yang belum disamak.
2) Ada manfaatnya. Tidak boleh menjual
sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya karena
hal itu termasuk dalam arti menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang.
3) Barang itu dapat diserahkan. Tidak
sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli,
misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang masih berada ditangan yang
merampasnya, barang yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu
daya (kecohan).
4) Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual,
kepunyaan yang diwakilinya, atau yang mengusahakan.
5) Barang itu diketahui oleh si penjual
dan si pembeli. Zat, bentuk, kadar (ukuran), dan sifat-sifatnya jelas sehingga
antara penjual dan pembeli keduanya tidak saling kecoh-mengecoh.[4]
4. Lafaz ijab dan kabul
Ijab adalah perkataan penjual. Kabul adalah ucapan si pembeli.
“Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka.” (Riwayat Ibnu Hibban)
Lafaz diwajibkan memenuhi beberapa syarat :
a.
Keadaan ijab dan Kabul berhubungan.
b.
Makna keduanya hendaklah mufakat.
c.
Keduanya tidak disnagkutkan dengan urusan yang lain.
d.
Tidak berwaktu.[5]
Jual beli adalah perjanjian, dan setiap perjanjian memiliki
rukun-rukun yang harus dipenuhi. Oleh karna itu rukun-rukun tersebut menjadi
sarat sehingga suatu perjanjian menjadi sah. Kemudian sarat menjadi
konsekuensi-konsekuensi, yaitu hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh ketentuan
allah swt.
Dua orang pelaku perjanjian adalah penjual dan pembeli yang melakukan
perjanjian berdasarkan kesepakatan keinginan mereka. Adapun rukun jual beli
sebagai berikut:
1. Cerdas, artinya dewasa, pandai, dan mampu melakukan transaksi keuangan.
Jual-beli tidak sah dilakukan oleh anak kecil atau orang gila. Transaksi jual
beli harus dilakukan orang yang sudah bijak artinya orang tersebut sudah bisa
menguasai dan mengelola harta itu dengan baik, mengigat jual-beli adalah
pengelolaan harta, sikap bijak disaratkan.
2. Perjanjian dipilih sendiri dan atas kehendak hati. Artinya dalam proses
menjual orang tersebut berkehendak atas transaksi yang dilakukannya dengan
penuh kebebasan dan keinginan. Hal yang sama berlaku bagi pembeli.
3. Pelaku perjanjian lebih dari satu. Artinya, pelaku perjanjian adalah 2
orang. Penjual tidak boleh sekaligus sebagai pembeli, sebab ada kepentingan
yang saling bertolak belakang antara kedua pelaku perjanjian. Seorang penjual
ingin harga yang tinggi dan sedikit permintaan, sedangkan pembeli senag meminta
yang terbaik dari penjual dengan harga murah, begitu seterusnya.
4. Melihat, jual beli yang dilakukan orang buta tidak sah karna jual beli
seperti itu adalah bentuk kebodohan yang buruk. Hendaknya orang buta menunjuk
seseorang untuk menjadi wakilnya dalam melakukan praktik jual beli.[6]
5. Jual beli khusus
Jual beli umum berlaku,
perjanjian jual beli yang tidak memiliki nama khusus dan yang umum
dilakukan oleh masyarakat. Di sisi lain, terdapat bentuk dan gambaran
perjanjian jual beli yang memiliki nama khusus terjadi dalam situasi yang
jarang terjadi. Adayang diperbolehkan adapula yang dilarang. Jual beli yang dilarang itu ada
yang sah secara sar’i tetapi berdosa, dan ada yang tidak sah samasekali. Berikut
penjelasannya:
a. Jual beli khusus yang diperbolehkan
Jual beli ini sedikit berpikir dengan gambaran jual beli pada umumnya.
Terkadang pembedaan itu menjadikannya dianggap tidak diperbolehkan. Oleh sebab
itu para ulamah fikih menjelaskan kekhususan jual beli itu agar anggapan
terlarang itu tertolak.
1) At-Tauliyah, menjual barang yang
telah dibeli dan menyerahkan barang itu dengan harga pembelian tanpa
menyebutkan harganya.
2) Al-Isyrak, jual beli ini hampir sama
dengan at-tauliyah , hanya saja yang
dijual adalah sebagian barang dagang; bukan semuanya.
3) Al-Murabahah, menjual barang yang
telah dibeli dan menghargainya sesuai dengan harga ketika membeli dengan keuntungan yang telah
diketahui dan dibatasi.
4) Al-muhathathah (al-Wadh’iyyah), menjual barang yang telah dibeli dan dijual dengan harga pembelian dagangan
pengurangan (diskon) dengan jumlah tertentu dari harga, seperti 10% dan
sebagainya. [7]
b. Jual beli yang dilarang
Di sini terdapat beberapa bentuk jual beli yang dilarang oleh syariat islam karena kesalahan atau hal yang
menyebabkan rusak. Jual beli seperti ini ada kalanya benar tetapi berdosa.
1) Jual beli yang dilarang dan tidak sah.
a) Menjual barang yang
belum jelas
Termasuk dalam kategori ini adalah menjual susu yang masih terdapat pada
binatang ternak dan belum diperas, menjual bulu yang masih menempel pada ternak
dan belum dicukur, juga menjual buah sebelum jelas baik buruknya.
b) Jual beli yang mengandung arti perjudian
Yaitu jual beli dengan barang dagang yang tidak diketahui atau
jual-beli dengan keinginan pelaku perjanjian yang tidak terpenuhi. Jual-beli
yang termasuk dalam kategori ini adalah jual-beli munabadsah atau mulamasah,
yaitu trnsaksi atas salahsatu di antara banyak barang tanpa menentukan barang
yang dimaksud. Misalnya, penjual mengeluarkan atau melemparkan salah satu
barang dan pembelimemegang barang tersebut, berarti pembeli harus membelinya,
Atau jika penjual memperdagangkan pakaian misalnya; dalam tempat gelap lalu pembeli
memegangnya tanpa melihat.
c) Dua transaksi dalam satu barang
Yaitu dalam tuturan transaksi disebutkan 2 transaksi dalam waktu bersamaan,
seperti ucapan penjual, “Aku menjual rumah ini kepadamu dengan harga Rp 900 juta secara tunai dan Rp
1 miliar secara cicilan dalam waktu 1 th.” Si pembeli menerima tawaran secara tunai atau cicil. Bisa
juga penjual mengatakan, “aku jual mobil ini kepadamu dengan harga Rp 850 juta.”
d) jual beli urbun
Penjualan yang dilakukan atas suatu barang dengan memberi sebagaian harga
untuk sipenjual; sebagaian harga itu disebut sebagaian hadiah untuk si penjual
jika transaksi tidak berhasil dan jika transaksi itu berhasil bagian itu
diambil dari harga. Jual beli seperti ini dilarang dan tidak sah karena
terdapat sarat yang rusak, yaitu hadiah untuk penjual.
e) Jual beli utang dengan utang
Misalnya seseorang memiliki utang kepada orang lain (orang kedua). Lalu orang ketiga
memiliki utang kepada orang pertama. Transaksi saksi seperti ini dilarang dan
tidak sah karena tidak ada kemampuan untuk menyerahkan barang dagangan.
f) Menjual barang yang belum diterima.
Seseorang membeli barang dagangan lalu menjual barang itu sebelum dia
menerimanya. Jual-beli seperti ini dilarang dan tidak sah, sebab barang
dagangan belum berada pada penguasaan pembeli sehingga dia belum berhak
menjualnya. Ibnu Umar r.a. meriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda; “siapa yang
menjual makanan, dia tidak boleh menjualnya hingga dia menerima makanan itu.”[8]
2) Jual beli yang haram meskipun tetap sah
a) Jual beli al-musharrah
Yaitu unta sapi dan kambing yang sengaja tidak diperah selama beberapa hari
agar susunya terkumpul sehingga pembeli menganggap ternak itu memiliki susu
yang banyak selamanya: pembeli senang membelinya bahkan mungkin mau menambah harganya.
b) An-najsyu.
Jual beli ketika seseorang menambah harga barang tetapi dia tidak bermaksud
menjual barang, tujuannya adalah agar orang lain menganggap bahwa barang itu
istimewa sehingga pembeli berani membeli dengan harga yang lebih mahal. Asal dari
an-najsyu adalah penutupan karena penjual menutupi maksudnya.
c) Jual beli penduduk desa dengan orang kota
Seseorang yang datang dari desa atau
tempat pedalaman lain dengan membawa barang yang ingin dijual, lalu penduduk
kota mengiginkan barang itu dan berkata, “jangan jual, sampai aku menjualkan
untukmu barang ini sedikit demi sedikit sehingga harganya bertambah.” Jual-beli
seperti ini haram. Karena hadis yang diriwayatkan oleh ibnu abbas yang berkata;
rosullulloh bersabda, tidak ada jual-beli orang kota dengan orang desa.
Ditanyakan oleh ibnu abbas. “apa yang maksud perkataan rosululloh tidak ada
orang jual beli orang kota dengan orang desa ? rosululloh menjawab; tidak ada
makelar.”(H.R Bukhori dan Muslim)
d) Bertemunya dua orang pengendara
Seorang pedagang pergi keluar kota lalu dia bertemu dengan seorang
pendatang yang membawa barang-barang. Pedagang itu menganggap bahwa barang yang
mereka bawa adalah dengan yang tidak laku didesa dan harganya murah, untuk itu
pedagang tersebut membelinya dengan harga yang lebih murah.
e) Menimbun barang untuk memonopoli
Pembelian dari pasar atas barang yang dianggap primer oleh masarakat,
terlebih ketika masyarakat sangat membutuhkan. Lalu, pembeli barang
mengumpulkannya dan menimbunnya agar harganya naik sedikit demi sedikit, baru
kemudian dia menjual barang itu sedikit demi sedikit sesuai kebutuhan masyarakat.
f) Melakukan transaksi jualbeli di atas transaksi orang lain atau menawar
barang diatas tawaran orang lain
Adapun pada jual-beli, misalnya; mendatangi seorang pembeli sesuatu, yang
masih padamasa khiyar lalu kepada pembeli tersebut dikatakan, “aku menjual
barang kepadamu yang jauh lebih bagus dari pada barang yang telah engkau beli
dengan harga yang sama / aku jual barang yang sama dengan harga yang lebih
murah.”
g) Transaksi orang yang tau bahwa semua hartanya haram
Jika diketahui semua harta seseorang adalah haram, seperti dagangannya adalah barang haram
seperti arak, babi, mayat, atau anjing, atau orang tersebut bekerja dengan cara
yang dilarang seperti menjadi seorang bandar judi, atau tukang suap, atau dia
digaji dari keharaman, maka dalam hal ini haram menjual barang kepada orang
itu, begitu juga membeli barang dagangannay. Juga transaksi lainnya seperti upah
sewa dll. Begitu pula haram memakan makanannya.[9]
6. Etika jual beli
a. Bersikap toleran ketika menjual atau membeli
Untuk
penjual mempermudah atau menurunkan tawaran harga. Selain itu, memudahkan orang
yang kesulitan membayar dengan memberikan batasan waktu sesuai kemampuannya.
Untuk
pembeli tidak terlalu banyak permintaan, dan sebaiknya menambah harga
penawaran. Jika utang diminta hendaknya tidak mempersulit atau mempersempit.
Jabir bin Abdulloh
r.a. meriwayatkan bahwa Rosulluloh SAW.
Bersabda, Allah memberikan berkah terhadap orang yang toleran ketika menjual,
membeli, dan ketika menagih (meminta
bayar utang). (HR Bukhori)
c. Jujur dalam bertransaksi
Caranya dengan
tidak berbohong ketika memberitaukan tentang jenis barang dagangan,
keistimewaan barang dagangan, atau produksen barang dagangan dan lain
sebagainya. Begitu juga tidak mengaku bahwa modal pembelian lebih mahal
daripada harga yang diberikan kepada pembeli, tetapi jujuratas semua yang
ditanyakan pembeli.
d.
Tidak
bersumpah meskipun benar
Salahsatu etika
jual-beli dan tanda-tanda kejujuran dalam jual-beli adalah tidak banayak
bersumpah, bahkan samasekali tidak bersumpah, meskipun dia benar. Karena,
sumpah dalam halseperti itu dapat dikatakan sebagai pelecehan nama Allah
swt.
Janganlah kamu jadikan Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan,
bertakwa dan mengadakan ishah diantara
manusia. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui. (Q.s. al-Baqoroh [2]: 224)
e.
Memperbanyak
sedekah di pasar dan ketika berjualan
Tujuannya
adalah supaya menghapus dosa ketika tidak sengaja bersumpah, atau tipuan cacat
yang tidak dijelaskan oleh penjual, atau merugikan dalam harga, atau perilaku
yang tidak terpuji lainnya.
Qais bin Abu
Garzah r.a. meriwayatkan hadis dengan mengatakan, Rosul menemui kami ketika
kami sedang bekerja sebagai seorang makelar, beliau bersabda, “wahai para
pedagang, sungguh setan dan dosa hadir dalam jual beli, sebaiknya kalian campur
jual beli kalian dengan sedekah.” (HR
Tirmizi, Abu Daud
dan Ibnu
hajah)
f.
Di tulis dan disaksikan
Jika jual-beli
secara utang (artinya pembayaran diberikan hingga batas waktu tertentu)
dianjurkan untuk menuliskan perjanjian dan menjelaskan berapa jumlah utang dan
harga asalnya serta semua yang berhubungan dengan perjanjian sehingga
perselisihan bisa dihindari. Ini berdasarkan firman allah:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu tertentu,
hendaknya kamu menuliskannya……. (Q.s. al-baqoroh [2]:282)
Dengan adanya
tulisan, jaminan kebenaran menjadi bertambah dan keyakinan dan pertolongan
antara sesamamuslim menjadi semakin kuat.
Dianjurkan juga adanya saksi pada jual-beli, meskipun tidak jadi
utang-piutang di dalamnya. Jual-beli dengan mengurangi harga dan penyerahan
barang dibutuhkan saksi agar tidak jadi pengingkaran atas kontrak atau hal lain
yang disaratkan yang menyebabkan persengketan dan permusuhan. [10]
7. Hikmah jual beli
Manusia sangat membutuhkan barang, tetapi tidak semua manusia mampu
menghasilkan semua barang yang mereka butuhkan. Oleh karna itu, manusia harus
saling menukarkan barang-barang mereka. Penukaran barang tidak akan terjadi
kecuali dengan adanya saling penerimaan. Penerimaan inilah yang dinamakan
perjanjian jual-beli. Manakala seorang memiliki uang tetapi tidak memiliki
barang atau sebaliknya, maka pemilik uang tersebut membutuhkan orang yang
memiliki barang dan pemiik barang butuh orang yamg mempunyai uang. Transaksi
seperti ini tidak akan terjadi kecuali dengan jual-beli. Begitu pula dengan
orang yang berusaha mendapatkan keuntungan, jual-beli adalah cara terbaik untuk
mendapatkan keuntugan. Wallohu a’lam bi ash-shawab.
B. PINJAM-MEMINJAM
1. Pengertian Qiradh.
Menurut bahasa, kata qiradh berarti al-qath’u (potongan).
Dalam kamus al-Mishbabul Munir disebutkan, aku pinjamkan sesuati yakni
memotongnya. “kata qiroth dinisbatkan kepada segala sesuatu yang
dipinjamkan kepadamu oleh orang lain yang nantinya akan diminta kembali. Di
namakan seperti ini karena didalamnya mengandung unsure memotong sebagian harta
dari pihak orang yang meminjamkan.
Menurut istilah para fukoh, qiradh berarti menyerahkan kepemilkan
harta kepada orang lain unuk dikembalikan lagi tanpa ada kelebihan.
Qirodh dinamakan demikian karena orang yang member pinjaman akan memotong
sebagian hartanya untuk diberikan kepada peminjam, dalam hal ini mengandung
makna qiradh mengandung bahasa.
Penduduk Hijaz menyebutnya dengan salaf panjar. Oleh karna
itulah, qiradh sah dengan menggunakan lafal aslaftu sebagaimana
akan dijelaskan.
2. Landasan hukum Qiradh.
Qiradh (pnjaman)
merupakan salahsatu bentuk ibadah yang diperbolehkan dan disariatkan. Boleh
memintanya bagi orang yang membutuhkan, bahkan pinjaman dalam kondisi ini
hukumnya sunnah bagi orang yang dimintai pinjaman dan merupakan hak untuk
memenuhinya. Hal itu ditujukan oleh al-quran sunah nabi dan ijmak.
Siapakah yang mau memberi pinjaman
kepada allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya dijalan allah), maka
allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanyadengan lipat ganda yang banyak (Q.s. al-Baqoroh [2]:245)[11]
3. Rukun meminjam
a. ada
yang meminjamkan, ahli berbuat kebaikan sekehendaknya, manfaat barang yang dipinjam dimilki oleh yang meminjamkan.
b. ada
barang yang dipinjamkan, barang yang benar-benar ada manfatnya, sewaktu diambil
manfaatnya zatnya tida rusak
c. ada
lafaz
4. Hilangnya barang yang dipinjam
Kalau barang yang dipinjam itu hilang karena
pemakaian yang diizinkan, yang meminjam tidak perlu mengganti, tetapi kalau
berdasarkan sebab lain, yang meminjam wajib mengganti.[12]
5. Hikmah pensyariatan qiradh
Mewujudkan apa
yang dikehendaki Allah SAW,
saling menolong dalam kebaikan dan takwa dikalangan kaum muslimin. Merekatkan
tali persaudaraan diantara mereka dengan seruan untuk mengulurkan pertolongan
kepada orang yang mengalami penderitaan atau terbelenggu dalam kesulitan.
Berlomba-lomba dalam mengeluarkan kesulitan orang lain. Bila mana manusia
meamberikan sebagian hartanya dengan cara
menolong dan berbuat baik. Allah
berfirman:
Hai orang-orang yang beriman,
rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah tuhan mu dan berbuat kebajikan, supaya
kamu mendapat kemenagan. (Q.s.
ai-Hajj[22]:77)
Rosullulloh saw
bersabda, “Seorang muslim itu saudara bagi orang muslim lainnya, dia tidak
boleh mendzoliminya dan menghinakannya. Barang
siapa yang membantu keperluan saudaranaya, maka allah akan memenuhi
keperluannaya. Barang siapa yang melapangkan satu kesusahan seorang muslim,
maka allah akan melapangkan suatu kesusahan diantara kesusahan-kesusahannya
hari kiamat nanti. Dan barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka allah
akan menutupi aibnya pada hari kiamat. (HR
Bukhori)
Hikmah paling
menonjol dalam pensariatan qiradh adalah untuk memenui keperluan orang-orang
yang membutuhkan. Sebab, pada umumnya seorang ukalaf tidak akan meminjam
kecuali ia memang sedang membutuhkan. Jika qiradh bukan merupakan hal yang
baik, maka yangbanyak terjadi adalah praktik riba dan merupakan pemerasan. Oleh
karna inilah, terhadap hadis yang menyebutkan pahala qiradh lebih tinggi
daripada pahala bersedekah.
Sahabat Annas
R.A. meriwayatkan, Rasul SAW bersabda pada waktu aku isra’ di malam hari, aku
melihat di pintu surga sebuah tulisan yang berbunyi, sedekah mendapat pahala 10
kali lipat dan qiradh mendapat pahala delapan belas kali lipat. Aku bertanya,
Wahai jibril kenapa pahala qiradh lebih besar dari sedekah?, Jibril menjawab, pada umumnya
orang yang meminta sedekah, ia sendiri punya. Sedangkan orang yang memohon
qiradh adalah ia tidak akan meminta qiradh kecuali karena ia butuh.(HR Ibnu
Majjah).[13]
C. BARANG TEMUAN
Pada saat orang muslim menemukan barang dengan
cara seperti yang kita tahu, disunnahkan untuk memungut apabila yakin dirinya amanah dan khawatir barang tersebut akan hilang jika tidak diambil.
Mengenai hal ini Rasul SAW bersabda, “Hanya orang sesat
yang memungut barang hilang, selagi itu tidak diketahuinya.”(Hr Ahmad)
Temuan berupa hewan dan bukan hewan, Apabila yang ditemukan hewan yang dapat menjaga diri maka tidak boleh dipungut “Ia dapat mencari air dan makan dari
pohon yang ada smapai tuannya menemukan”
Barang temuan (luqatah) adalah barang-barang
yang didpat dari tempat yang tidak dimilki oleh seorangpun.
1. Hukum mengambil barang temuan
a.
Sunat, bagi orang yang percaya pada dirinya bahwa ia sanggup mengerjakan
segala yang bersangkutan dengan pemeliharaan barang tersebut.
b.
Wajib, apabila berat sangkaannya bahwa barang itu akan hilang dengan
sia-sia kalau tidak diambil.
c.
Makruh, bagi orang yang tidak percaya pada dirinya.
2. Rukun luqatah
a.
Ada yang mengambil, jika yang mengambil adalah orang yang tidak adil, hakim
berhak mengambil barang itu dari orang tersebut.
b.
Barang yang tidak tahan disimpan lama.
c.
Barang yang dapat tahan lama dengan usaha.
d.
Suatu yang membutuhkan nafkah.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat di buat
beberapa kesimpulan antara lain :
1.
jual-beli adalah perjanjian yang didasarkan atas penukaran harta dengan harta sebagai kepemilikan selamanya
2.
Jual beli adalah perjanjian,
dan setiap perjanjian memiliki rukun-rukun yang harus dipenuhi.
3.
qiradh berarti menyerahkan kepemilkan harta kepada
orang lain unuk dikembalikan lagi tanpa ada kelebihan.
4.
Pada saat orang muslim
menemukan barang dengan cara seperti yang kita tahu, disunnahkan untuk memungut apabila yakin dirinya amanah dan khawatir barang tersebut akan hilang jika tidak diambil.
B.
Saran
Dalam menyusun makalah ini, kami menyadari masih ada kekurangan baik
materi maupun penulisan. Jadi kami menyarankan agar pembaca makalah ini membaca
referensi dari buku-buku lain untuk melengkapi atau menambah pengetahuan Fiqh tentang menghargai orang lain. Saran dari semua pihak akan kami
kumpulkan untuk memberi semangat dan acuan dalam penulisan makalah kami yang
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bugha, Mushthafa.
2012. Fikih
Man Haji Jlid 2. Yogyakarta :
DARUL USWAH.
Rasjid,
Sulaiman. 2016. FIQH ISLAM. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
[1] Mushthafa al-Bugha, FIKIH MANHAJI JILID 2 (Yogyakarta :
DARUL USWAH, 2012), 28-29.
[2] Sulaiman Rasjid, FIQH ISLAM (Bandung : Sinar Baru
Algesindo, 2016) 278.
[3] Ibid, 279
[4] Ibid, 280-281
[5] Ibid, 282
[6] Mushthafa al-Bugha, FIKIH MANHAJI JILID 2 (Yogyakarta :
DARUL USWAH, 2012), 31-33.
[7] Ibid, 53-54
[8] Ibid, 55-62
[9] Ibid, 62-66
[10] Ibid, 67-70
[11] Ibid, 128.
[12] Sulaiman Rasjid, FIQH ISLAM (Bandung : Sinar Baru
Algesindo, 2016) 323-324.
[13] Mushthafa al-Bugha, FIKIH MANHAJI JILID 2 (Yogyakarta :
DARUL USWAH, 2012), 130.
[14] Sulaiman Rasjid, FIQH ISLAM (Bandung : Sinar Baru
Algesindo, 2016) 331-332.
Comments
Post a Comment