Mencerdaskan Kaum Muda di Era Globalisasi


Mencerdaskan Kaum Muda di Era Globalisasi
Oleh : Susianah Affandy
Komisioner KPAI dan Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga PBNU


Seiring dengan kemajuan teknologi dan komunikasi digital, kaum muda menghadapi tantangan yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Psikolog Remaja James E Gardner menyebut masa muda sebagai masa kritis karena di dalamnya merupakan transisi dari kanak-kanak menuju dewasa. Banyak kejutan terjadi di masa kini. Kejutan itu tidak semata pada perubahan fisik, namun juga terjadi perkembangan pemikiran, ideologi, orientasi seksual, orientasi sosial dan lain sebagaimanya.

Perubahan Orientasi

Kita sebagai orang tua, tidak bisa mengajarkan kepada anak-anak muda di masa kini untuk memaknai “menuntut ilmu setinggi langit” dengan batasan pengertian “pergi ke sekolah, mengerjakan PR, mengikuti ujian dan kemudian menerima rapot”. Nilai-nilai dalam rapor saat ini tidak memberi jaminan bagi anak-anak kita meraih sukses dalam kehidupannya.

Kenyataannya tidak sedikit para sarjana terbaik kesulitan beradaptasi ditempat kerja, mudah tersinggung dan kemudian menjadi pengangguran. Survey yang diterbitkan oleh National Association of Colleges and Employers USA yang dikutip oleh OASE tahun 2015 tentang kualitas lulusan perguruan tinggi yang diharapan dunia kerja menempatkan Indeks Prestasi (IP) menempati urusan ke-17 dari hasil survey tersebut.

Dunia usaha secara tegas menyatakan mencari pribadi yang memiliki kemampuan komunikasi, kejujuran/integritas, kemampuan bekerjasama, kemampuan interpersonal, beretika, motivasi/inisiatif, kemampuan beradaptasi, daya analitik, kemampuan berorganisasi, kepemimpinan, kepercayaan diri, ramah, sopan, bijaksana dan lain sebagainya dibandingkan Indeks Prestasi (IP). Di sinilah kaum muda harus menguasai “soft skill”, yakni kemampuan dalam interaksi sosial sebagai syarat mutlak raih kesuksesan.

Tantangan Kaum Muda di Era Global

Selain kemampuan soft skill, kemampuan “hard skill” yang dipelajari di dunia kampus memberi pengaruh dalam diri kaum muda dalam kompetisi global. Kebijakan pasar tunggal ASEAN yang trend dengan istilah Masyarakat Ekonomi ASEAN harusnya menggugah kaum muda untuk tertantang di dalamnya. Pasalnya dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN ini persaingan pasar tidak hanya pada perputaran “barang”, namun juga “jasa dan tenaga profesional”. Pertanyaannya apakah kaum muda Indonesia siap memenuhi kebutuhan pasar tenaga profesional yang kebutuhannya diperkirakan mencapai 41% atau 14 juta penduduk?

Salah satu tantangan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN yang harus disiapkan kaum muda Indonesia adalah munculnya diversifikasi masyarakat yakni pengelompokan masyarakat berdasarkan profesi. Pada ranah ini, masing-masing orang akan mengelompok berdasarkan persamaan profesi. Organisasi profesi tumbuh subur dan bersaing dalam kancah global. Nah, bagaimana dengan kaum muda yang unskill?

Kita patut merenung apakah kaum muda Indonesia mampu menjawab tantangan tersebut ketika mereka kini banyak terpapar dengan beragam permasalahan sosial. Kaum muda Indonesia tak bisa dipungkiri banyak yang masih gagap dengan perkembangan teknologi digital. Alih-alih dapat menggunakan teknologi sebagai sarana mencapai kemasalahatan dalam kehidupan, tidak sedikit kaum muda justru “hanya menjadi pangsa pasar” produk teknologi digital tersebut. Riset pasar e-Marketer tahun 2014 menempatkan Indonesia di posisi keenam pengguna internet terbesar di dunia. Jumlah penduduk Indonesia pengguna internet mencapai 83,7 juta orang.

Dari belanja internet yang besar inilah kaum muda terpapar pornografi, kecanduan game kekerasan, porno aksi dan pemicu kejahatan di alam nyata lainnya. Data asosiasi penyelenggara jasa internet Indonesia (APJII), 2014 menyebutkan sebanyak 25 juta orang memainkan game online,  sebanyak kurang lebih 11 juta diantaranya bermain setiap hari. Seorang ahli jiwa, Jerald Block MD memaparkan pemain game online terancam “kecanduan” yang perilakunya mirip dengan pecandu Narkoba. Perilaku pecandu tersebut antara lain tidak mampu mengontrol diri dan waktu, sulit mengendalikan diri karena terjadi compulsive-impulsive disorder, marah dan cenderung mengamuk tatkala ada nasehat untuk berhenti bermain. Seperti efek candu pada pengguna Narkoba, dari perilaku pecandu game ini dapat terlihat bagaimana mereka lebih suka menarik diri dari aktivitas sosial, lelah fisik-mental dan lain sebagainya. Nah

Selain soal dunia digital, tantangan lain yang dihadapi kaum muda adalah pengaruh ideologi yang dulu “hanya milik kaum elit intelektual” seperti liberalisme, komunisme dan lain sebagainya. Jaman dulu ideologi tersebut diserap dari dunia kampus dan dunia aktivisme, namun sekarang semua orang dapat berkenalan dengan ideologi tersebut melalui teknologi digital seperti media sosial. Setiap orang dapat terhubung dengan masyarakat lainnya di seluruh belahan dunia. Interaksi yang mudah dan murah ini membawa implikasi mudahnya ideologi masuk dalam keseharian kita. Bahkan dalam media sosial seperti WhatApps, pertentangan ideologi ramai dibahas dalam beragam tulisan, kisah dan pesannya setiap hari.

Bagaimana Mencerdaskan dan Mengembangkan Kaum Muda?

Jika dalam paparan di atas memberi gambaran globalisasi sebagai hal yang meracuni produktifitas kaum muda, bagaimana jika kita balik? Globalisasi beserta produknya kita manfaatkan untuk mengembangkan diri sebagai generasi pemimpin masa depan bangsa? Bagaimana caranya? Dibutuhkan empat upaya untuk mencerdaskan dan mengembangkan kaum muda di era globalisasi.

Pertama, pengembangan sarana dan prasarana. Dalam upaya mencerdaskan satu generasi dibutuhkan dukungan sarana dan prasarana. Kaum muda yang saat ini grandrung dengan gawainya, harus diberikan ruang lain untuk mengembangkan hoby dan bakat. Dunia pendidikan, keluarga dan masyarakat harus memiliki sikap dan kepedulian kepada pengembangan generasi bangsa. Anak-anak harus tumbuh dalam lingkungan yang kondusif. Sejak kecil anak-anak harus mendapat stimulasi dari lingkungannya dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai.

Kedua, mengembangkan metode belajar yang bervariasi. Satu generasi hanya bisa tumbuh dan berkembang jika ia belajar dengan menggunakan metode yang sesuai dengan karakter dirinya. Setiap anak memiliki karakteristik belajar yang berbeda-beda satu sama lain. Ada anak yang dapat menyerap ilmu pengetahuan dari apa yang ia baca, ada juga anak-anak yang kemampuan pemahamannya dapat diasah dari mendengar, melakukan, melihat dan atau mengajarkannya. Lingkungan keluarga dan pendidikan harus memahami karakteristik anak-anak didik. Jika tidak maka dunia pendidikan mustahil bisa mencerdaskan anak bangsa, justru menjadi hantu bagi generasi bangsa.

Ketiga, bersahabat dengan produk digital. Dunia globalisasi telah melahirkan produk-produk digital yang di tahun 1990-an mungkin belum terpikirkan. Produk digital ini harus digunakan sebagai alat untuk mempermudah kita dalam kehidupan sehari-hari. Seperti misalnya, media sosial seperti FB dan WA telah mempertemukan yang awalnya tidak saling kenal, yang jauh menjadi dekat. Interaksi dan komunikasi satu sama lain menjadi lebih mudah, hemat dan efesien. Bahkan dalam perkuliahan di Negara maju tidak musti hadir di dalam kelas. Mahasiswa bertemu dalam media digital sebangsa line, zoom dan sebagainya. Bisa komunikasi sambil tatap muka tanpa harus bertemu.

Jika kita cermati, banyak hal yang bisa dilakukan mahasiswa dan kaum muda lainnya dengan mobile phone yang mereka bawa sehari-hari. Anak SMU penemu aplikasi anti virus, mahasiswa penemu aplikasi media sosial sebagai alternative selain FB, penemu produk rumahan dan lain sebagainya.

Keempat, untuk cerdas, miliki mentor. Metode yang banyak digunakan oleh perusahaan besar dunia adalah ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi) terhadap barang dan jasa yang mereka miliki. Sejak duduk dibangku semester 1, mahasiswa seharusnya diajak berkelana ke masa depan. Di manakah mereka 5 tahun yang akan datang. Selanjutnya cari figure yang sesuai dengan apa yang mereka visualkan di masa depan. Figure ini menjadi mentor dalam mengembangkan mahasiswa menjadi cerdas dan mandiri. Sayangnya mentor dalam pengembangan diri ini di dunia kampus dimaknai dengan posisi formal “dosen pembimbing” yang seringkali “kaku” dan tidak menyentuh pengembangan karakter kepemimpinan.

Ibarat metode ilmiah, jika kita menggunakan cara yang sama, melakukan hal yang sama maka minimal hasilnya akan sama dengan mentor atau pembimbing kita. Apalagi generasi masa kini telah memperoleh kemudahan dalam menjalani kehidupan sehari-hari dengan adanya fasilitasi digital***

Comments